• Jumat, 29 September 2023

Yusril Tak Menggali Ide Demokrasi yang Sehat

- Selasa, 28 September 2021 | 12:22 WIB
Rachland Nashidik (Instagram Rachland Nashidik)
Rachland Nashidik (Instagram Rachland Nashidik)

YUSRIL Ihza Mahendra mengeluhkan reaksi keras kader Demokrat padanya. Ia mengaku gugatannya pada AD/ART Partai Demokrat semata-mata demi "demokrasi yang sehat". Tapi mari kita bertanya: mulai kapan dan darimana ide menyehatkan demokrasi itu hinggap di kepala Yusril?

Inilah faktanya: Yusril tak peduli pada ide "demokrasi yang sehat" pada saat ia berkepentingan mendapat rekomendasi Partai Demokrat bagi anaknya. Ide itu baru datang padanya belakangan, yakni setelah kubu KLB abal abal di Deli Serdang memberinya pekerjaan untuk membatalkan AD/ART Partai Demokrat.

Sebelum para begal partai itu datang, Yusril tak peduli pada AD/ART Partai Demokrat -- konon pula terpikir menggugatnya. Sebaliknya, ia justru berterimakasih pada Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres 2020, yang memberi anaknya rekomendasi untuk bertarung dalam pilkada.

Jadi jelas: Yusril tak menggali ide "demokrasi yang sehat" dari bumi kemaslahatan publik. Semua dalih itu cuma gincu untuk mendandani upayanya membuka jalan bagi niat jahat dan praktik politik hina kubu Moeldoko membegal Partai Demokrat.

Baca Juga: Rachland Bantah Yusril yang Mengaku Netral

Sampai di sini, harusnya juga jelas, kenapa kader Demokrat bereaksi keras padanya. Yusril sudah mendapat kemanfaatan dari AD/ART Demokrat saat ia memiliki kepentingan terhadap karir politik anaknya. Tidakkah harusnya dengan demikian Yusril memilih sikap etis, menjauhi kemungkinan conflict of interest, dengan menolak permintaan kubu para begal itu? Setidaknya, Yusril bisa memajukan advokat lain demi konsistensinya sendiri. Ia sebenarnya bisa bekerja di belakang layar saja.

Tapi tidak: Yusril justru menerima pekerjaan dari Kubu Moeldoko dengan sangat percaya diri, malah menganggap dirinya begawan yang sedang memberi pencerahan berdemokrasi. Ia mengejek kader Demokrat sebagai "dewa mabuk". Tapi siapakah di sini yang sebenarnya mabuk ketenaran dan mabuk kesombongan?

Yusril bukan cuma profesor hukum tata negara. Ia juga politisi karatan. Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Menteri pada tiga pemerintahan. Tapi kenapa tiba tiba saja ia tak bisa melihat relasi kuasa di balik peristiwa politik yang sedang menghajar Demokrat?

Kenapa ia seolah buta, bahwa apa yang dialami Demokrat berbeda, karena pada kasus partai lain tak ada agresi terang-terangan dari Kepala Staf Kepresidenan?

Baca Juga: Kuku-Kuku Tajam dari Praktek Politik yang Menindas

Kenapa ia justru mengiris lepas semua itu dari konteks dan konstelasi politik, seolah semua ini berlangsung dalam ruang hampa?

Apa yang membuatnya mengira bisa membangun "demokrasi yang sehat", dengan mengamini praktek politik opresif dan hina?

Bisakah kita simpulkan, Profesor Tata Negara ini pada akhirnya cuma manusia biasa yang menjual pengetahuannya pada para begal untuk membuka paksa pintu rumah korban?

Jakarta, 28 September 2021

Halaman:

Editor: Dani Priatno PIN

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Hoaks Ancaman Pesta Demokrasi 2024

Kamis, 21 September 2023 | 22:21 WIB

Politik Oportunis, Anies Baswedan 'The End'

Jumat, 1 September 2023 | 14:25 WIB

Mengawal 6 Arahan Presiden di Tahun Politik

Selasa, 4 Juli 2023 | 16:42 WIB

PERTEMUAN BIDEN-XI JINPING PENTING DAN BAIK BAGI DUNIA

Senin, 14 November 2022 | 11:49 WIB

Tanpa AHY, Anies Mustahil Menang

Senin, 7 November 2022 | 15:04 WIB

Mengawal Otoritas Agama di Ruang Publik

Kamis, 27 Oktober 2022 | 18:36 WIB

Siapa Yang Layak Dampingi Anies Baswedan?

Selasa, 4 Oktober 2022 | 21:43 WIB

Aksi Tawuran Pelajar Cederai PTM

Minggu, 9 Januari 2022 | 20:30 WIB

Penyesalan Bus Buy The Service yang Dihentikan

Kamis, 6 Januari 2022 | 17:19 WIB

Menanti 5 Juta Anak yang Tak Berakte Perolehan Haknya

Selasa, 4 Januari 2022 | 18:46 WIB

Relawan Semeru Vs Relawan Capres

Kamis, 16 Desember 2021 | 07:31 WIB

Maskapai Garuda yang Malang

Senin, 1 November 2021 | 08:51 WIB

Terpopuler

X