Kuku-Kuku Tajam dari Praktek Politik yang Menindas

- Jumat, 24 September 2021 | 09:46 WIB
Rachland Nashidik
Rachland Nashidik

Oleh : Rachland Nashidik
Kader Partai Demokrat

Yusril Ihza Mahendra mengaku netral dalam skandal pembegalan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia mengaku menjadi kuasa hukum Moeldoko hanya karena peduli pada demokratisasi dalam tubuh partai politik.

Tapi skandal hina pengambil-alihan paksa Partai Demokrat oleh unsur Istana, yang pada kenyataannya dibiarkan saja oleh Presiden, pada hakikatnya adalah sebuah krisis moral politik. Dan orang yang mengambil sikap netral dalam sebuah krisis moral, sebenarnya sedang memihak pada si kuat dan si penindas.

Yusril berpendapat, saat ini terdapat kekosongan hukum berupa ketiadaan otoritas negara untuk menguji kesesuaian AD/ART partai politik dengan Undang-undang. Maka Yusril mendesak Mahkamah Agung agar mengklaim kewenangan tersebut dan menguji AD/ART Partai Demokrat.

Baca Juga: Cerita Penderita Yesus: Yang Terbesar Harus Menjadi Pelayanan

Tapi harapan agar partai partai politik di Indonesia menjadi partai politik modern, ada pada semua pihak. Justru karena itu, andai benar Yusril peduli, maka ia harus memeriksa AD/ART semua partai -- bukan cuma Demokrat. Dalam keperluan itu, ia bisa saja memilih bertindak sebagai Profesor Tata Negara yang berjuang dengan sepenuhnya pamrih akademis. Misalnya mendorong legislative review terhadap UU Partai Politik agar "kekosongan hukum" yang ia sebut bisa dibahas para legislator.

Tapi tidak: Ia justru secara spesifik dan selektif menyoal AD/ART Partai Demokrat. Melewatkan secara sengaja AD/ART partai partai politik anggota koalisi pemerintah. Padahal, faktanya ada partai anggota koalisi pemerintah yang memiliki struktur Majelis Tinggi namun dengan kekuasaan yang bahkan jauh lebih besar, yakni berwenang membatalkan semua keputusan Dewan Pengurus. Yusril, bila meneliti, pasti juga akan menemukan AD/ART partai lain pendukung Jokowi yang mengatur KLB hanya bisa diselenggarakan atas persetujuan Ketua Dewan Pembina.

Jadi kenapa hanya Demokrat? Jawabnya, karena Yusril memihak Moeldoko dan mendapat keuntungan dari praktek politik hina yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan pada Partai Demokrat. Padahal sebagai advokat, Yusril sebenarnya bisa menolak menjadi Kuasa Hukum Moeldoko tanpa berakibat pupusnya akses Moeldoko pada keadilan. Moeldoko bukan orang miskin. Duitnya mampu membeli jasa advokat lain.

Baca Juga: Utang Membengkak, Apakah Benar untuk Infrastruktur?

Tak bisa lain, klaim netralitas Yusril adalah tabir asap yang sia-sia menutupi pemihakannya pada KSP Moeldoko. Alih-alih kampiun demokrasi, seperti klaimnya sendiri, Yusril dalam kasus ini justru adalah kuku-kuku tajam dari praktek politik yang menindas.

Jakarta, 24 September 2021

 

Editor: Firdaus Iwan

Tags

Artikel Terkait

Terkini

PERTEMUAN BIDEN-XI JINPING PENTING DAN BAIK BAGI DUNIA

Senin, 14 November 2022 | 11:49 WIB

Tanpa AHY, Anies Mustahil Menang

Senin, 7 November 2022 | 15:04 WIB

Mengawal Otoritas Agama di Ruang Publik

Kamis, 27 Oktober 2022 | 18:36 WIB

Siapa Yang Layak Dampingi Anies Baswedan?

Selasa, 4 Oktober 2022 | 21:43 WIB

Aksi Tawuran Pelajar Cederai PTM

Minggu, 9 Januari 2022 | 20:30 WIB

Penyesalan Bus Buy The Service yang Dihentikan

Kamis, 6 Januari 2022 | 17:19 WIB

Menanti 5 Juta Anak yang Tak Berakte Perolehan Haknya

Selasa, 4 Januari 2022 | 18:46 WIB

Relawan Semeru Vs Relawan Capres

Kamis, 16 Desember 2021 | 07:31 WIB

Maskapai Garuda yang Malang

Senin, 1 November 2021 | 08:51 WIB

Demokrat Tuding Megawati Lengserkan Gus Dur?

Rabu, 6 Oktober 2021 | 09:30 WIB

Judicial Review Tidak untuk AD/ART Partai

Senin, 4 Oktober 2021 | 15:35 WIB

Yusril Tak Menggali Ide Demokrasi yang Sehat

Selasa, 28 September 2021 | 12:22 WIB
X